Universitas Gunadarma

Pages

Diberdayakan oleh Blogger.

Blogger templates

Archive for Desember 2015

PAKET KEBIJAKAN EKONOMI PEMERINTAHAN EKONOMI


Paket ekonomi pertama: Insentif untuk semua pemangku kepentingan
Dalam paket kebijakan pertama, pemerintah menegaskan komitmennya untuk mendorong pertumbuhan ekonomi. Berbagai kebiijakan diambil untuk memberikan insentif dan kemudahan bagi aktivitas para pemangku kepentingan dalam perekonomian.
Ada proses deregulasi untuk investor, subsidi bunga kredit untuk sektor Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) hingga rumah murah untuk masyarakat pekerja.
Kelemahan dari paket jilid pertama adalah sifatnya yang baru berdampak nyata dalam jangka menengah panjang.
"Nature dari paket kebijakan ini lebih bersifat jangka menengah dan jangka panjang. Saya masih belum melihat paket kebijakan ini akan berdampak segera di tahun ini," kata ekonom Universitas Indonesia, Fithra Faisal ketika itu.

Paket kebijakan ekonomi kedua: Fokus undang investasi dengan lima jurus
Mendorong pertumbuhan investasi di Indonesia menjadi fokus dari paket kebijakan ekonomi jilid kedua. Sejumlah strategi telah disiapkan untuk mencapai tujuan tersebut. Apa saja?
1. Proses perizinan yang lebih sederhana
Pemerintah kembali menegaskan komitmennya untuk mewujudkan proses perizinan yang lebih sederhana dalam proses penanaman investasi. Hal ini diharapkan dapat membuat iklim investasi di Indonesia menjadi semakin kondusif.
"Izin lingkungan di kawasan industri sudah diberikan kepada kawasannya, sehingga untuk investasi di dalamnya tidak perlu izin lagi. Dengan demikian, waktu untuk mengurus izin investasi di kawasan industri menjadi jauh lebih cepat, sekitar tiga jam saja," ujar Menteri Koordinator Perekonomian Darmin Nasution dalam pernyataan persnya Istana Negara saat peluncuran.
2. Pengesahan tax allowance dan tax holiday yang lebih cepat
Dalam paket kebijakan ekonomi kali ini, pemerintah juga berusaha mengoptimalkan insentif tax allowance dan tax holiday yang sebelumnya telah disahkan masing-masing dengan Peraturan Pemerintah (PP) No. 18 dan No. 159 tahun 2015.
Caranya adalah dengan memastikan proses pemberian persetujuan dapat berlangsung relatif cepat bagi wajib pajak yang mengajukan permohonan untuk memperoleh kedua insentif tersebut.
3. Pembebasan PPN untuk impor alat angkut tertentu
Melalui Peraturan Pemerintah (PP) No. 69 tahun 2015, pemerintah akan membebaskan pengenaan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) atas impor alat angkutan tertentu. Dengan kebijakan ini, biaya pembangunan infrastruktur transportasi di Indonesia diharapkan dapat ditekan.
Apa saja alat angkut yang impornya akan bebas PPN? Di antaranya adalah galangan kapal dan pesawat udara dengan suku cadangnya. Daftar lengkapnya bisa kamu baca di sini.
4. Pajak bunga deposito yang lebih rendah bagi eksportir
Pemerintah siap untuk memberikan pajak bunga deposito yang lebih rendah bagi para eksportir Indonesia yang menyimpan dananya di bank-bank tanah air. Langkah ini diharapkan dapat menjadi insentif bagi mereka agar tak "memarkir" Devisa Hasil Ekspor (DHE) di luar negeri.
5. Pemerintah daerah siap mendukung
Dalam proses implementasinya, berbagai kebijakan yang termuat dalam paket kebijakan ekonomi jilid dua ini juga akan memperoleh dukungan penuh pemerintah daerah, demikian ditegaskan Sekretaris Kabinet Pramono Anung.
"Kalau di pusat perizinan cepat, maka di daerah juga harus cepat," kata Pramono.
PRESIDEN JOKOWI. Presiden Joko "Jokowi" Widodo memberikan arahan pada rapat dengan gubernur, bupati/wali kota di Istana Negara, Jakarta, Rabu, 21 Oktober 2015. Foto dari setkab.go.id
Paket kebijakan ketiga: Kuatkan daya saing dunia usaha
Paket kebijakan ketiga meluncur di tengah tekanan terhadap daya saing dunia usaha dalam negeri. Depresiasi nilai tukar rupiah terhadap dolar AS membuat biaya impor semakin tinggi. Meskipun menguntungkan para eksportir, hal ini di sisi lain membuat situasi perekonomian Indonesia menjadi tak kondusif.
Karena itu dalam paket kebijakan jilid tiga ini diluncurkan sejumlah insentif untuk menurunkan biaya perusahaan dalam proses produksi dan memperoleh tambahan modal. Apa saja?
1. Penurunan harga Bahan Bakar Minyak (BBM), gas, dan listrik: Harga avtur,Liquified Petroleum Gas (LPG) 12 kg, Pertamax, dan Pertalite efektif turun sejak 1 Oktober 2015.
Sedangkan harga gas untuk pabrik dari lapangan gas baru ditetapkan sesuai dengan kemampuan daya beli industri pupuk dan harga listrik untuk pelanggan industri I3 dan I4 akan turun sebesar Rp 12 – Rp 13 per kWh mengikuti turunnya harga minyak dunia.
2. Perluasan wirausahawan penerima Kredit Usaha Rakyat (KUR): Untuk meningkatkan akses wirausahawan kepada kredit perbankan, pemerintah telah menurunkan tingkat bunga KUR dari sekitar 22 persen menjadi 12 persen.
3. Penyederhanaan izin pertanahan dalam kegiatan penanaman modal: Di bidang pertanahan, Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional merevisi Peraturan Menteri No. 2 tahun 2015 tentang Standar Pelayanan dan Pengaturan Agraria, Tata Ruang, dan Pertanahan dalam Kegiatan Penanaman Modal. Tujuannya, membuat proses mengurus izin pertanahan menjadi lebih efisien.
Paket kebijakan ekonomi keempat: Formula baru perhitungan upah minimum dan kredit modal kerja untuk produsen barang ekspor
Produktivitas pekerja adalah salah satu fondasi untuk mendorong laju pertumbuhan ekonomi.
Untuk memberikan insentif kepada pekerja sekaligus menjamin kesejahteraan mereka, pemerintah meluncurkan formula baru untuk menghitung besaran kenaikan upah minimum tahunan yang tertuang dalam PP No. 78 tahun 2015 tentang pengupahan.
Namun demikian, PP Pengupahan ini justru menuai protes dari sejumlah kelompok buruh karena dinilai tak menguntungkan mereka.
Juga diumumkan dalam peluncuran paket keempat, Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia (LPEI) sudah melakukan pemetaan terhadap perusahaan-perusahaan produsen komoditas ekspor di Tanah Air. Hasilnya, terdapat 30 perusahaan yang berpotensi untuk memperoleh kredit modal kerja.
Paket kebijakan kelima: Insentif untuk revaluasi aset dan penghapusan pajak berganda dalam Real Estate Investment Trust (REIT)
Dalam paket kebijakan ekonomi lima ini, pemerintah memberikan insentif pajak bagi individu atau badan usaha yang ingin melakukan revaluasi aset.
Akan ada pemotongan tarif Pajak Penghasilan (PPH) revaluasi. Jika proposal revaluasi diserahkan sebelum akhir tahun, besaran tarif khusus revaluasi akan menjadi 3 persen dari sebelumnya 10 persen. Apabila diserahkan pada semester pertama 2016, menjadi 4 persen dan bila pada semester kedua 2016, menjadi 6 persen.
Selain itu, instrumen investasi Real Estate Investment Trust (REIT) akan bebas dari pajak berganda.
Lalu kebijakan apa yang bisa kita harapkan akan termuat pada paket keenam?
Dilansir oleh KataData, paket kebijakan kali ini akan menyasar Kawasan Ekonomi Khusus (KEK).
Menurut Fithra, masih ada banyak masalah mengenai konsep KEK ini sendiri. Istilah tersebut masih digunakan secara salah kaprah. "Konsep KEK bisa efektif ketika ada proteksi yang kuat terhadap masuknya investasi asing di daerah di Indonesia," kata Fithra.

Perlindungan tersebut bisa berupa tarif tinggi, seperti yang dilakukan oleh Tiongkok. Bisa juga berupa kawasan khusus saja yang sangat terbuka terhadap investasi asing. Namun di Indonesia, secara umum Fithra menilai telah ada keterbukaan terhadap investasi.
Dia menyarankan, daripada membuat sesuatu yang efektifitasnya masih dipertanyakan, mengapa tidak kita beri insentif terhadap proses industrialisasi?
"Jadi bukan soal KEK, tapi berikan insentif terhadap industri," kata Fithra. Alasannya, karena belakangan ini kita mengalami deindustrialisasi, terbukti dari kontribusi industri terhadap PDB yang menurun. — Rappler.com

Sumber : http://www.rappler.com/indonesia/111803-paket-kebijakan-ekonomi-pemerintah-jokowi

KEMANDIRIAN NEGARA DALAM MENGELOLA EKONOMI

RENDAHNYA DAYA SAING NEGARA INDONESIA TERHADAP NEGARA-NEGARA MAJU
3 JANUARI 2012 MENINGGALKAN KOMENTAR
RENDAHNYA DAYA SAING NEGARA INDONESIA TERHADAP NEGARA-NEGARA MAJU
Oleh: Afrizal Woyla Saputra Zaini
BAB I
PENDAHULUAN
  
A.   Latar Belakang
Peringkat daya saing yang semakin menurun mengindikasikan bahwa daya saing Indonesia di perdagangan internasional semakin menurun. Kekayaaan alam yang melimpah sepertinya kurang berperan dalam peningkatan daya saing Indonesia.
Hal ini mengindikasikan adanya hambatan yang menyebabkan daya saing Indonesia menurun. Peran pemerintah dalam mengupayakan peningkatan daya saing seharusnya dapat meningkatkan daya saing produk Indonesia di perdagangan internasiona
Daya saing menurut Michael Porter (1990) adalah produktivitas yang didefinisikan sebagai output yang dihasilkan oleh tenaga kerja. Menurut World Economic Forum, daya saing nasional adalah kemampuan perekonomian nasional untuk mencapai pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan berkelanjutan.
Menurut Lall (1998), ada lima faktor determinan sebagai penyebab rendahnya pembangunan sains dan teknologi nasional, yakni (1) sistem insentif, (2) kualitas SDM, (3) informasi teknologi dan pelayanan pendukung, (4) dana, dan (5) kebijakan sains dan teknologi sendiri.
Dalam hal sistem insentif, misalnya, kebijakan makro ekonomi nasional masih kurang kondusif dalam mendorong pengembangan kemandirian sains dan teknologi. Demikian pula dengan kualitas SDM, keterbatasan dana dan manajemen.



B.   Tujuan Masalah
Tujuan dari penulisan ini agar dapat memahami suasana dan arah daya saing Negara Indonesia terhadap Negara-negara maju. Dengan adanya mekanisme yang baik dan tepat pada sasaran paling tidak dapat meningkatkan peran perekonomian dan pembangunan indoneisia di mata internasional.
Tujuan lain dari penulisan ini juga agar dapat menambah wawasan masyarakat dalam mewujudkan kehidupan yang adil, makmur dan beradap atas dasar Undang-Undang Dasar 1945 dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang merdeka, berdaulat, tertib, bersahabat, bersatu, aman, damai dan sejahtera.
C.   Rumusan Masalah
1.      Bagaimana proses perekonomian dan pembangunan nasional .?
2.      Apa saja yang menjadi kendala perekonomian dan pembangunan Indonesia selama ini, sehingga menjadi masalah yang belum terselesaikan.?
3.      Bagaimana proses perekonomian dan pembangunan dalam meningkatkan daya sain indoneisia terhadap Negara Negara maju.?
4.      Kenapa Indonesia masih belum mampu menarik diri dari ketergantungan dengan negera Negara maju
5.      Seperti apa proses proses peningkatan dan rehablitasi daya saing Indonesia dengan Negara Negara maju.?
6.      Bagaimana sistem pemerintahan dalam melakukan pembangunan dan peningkatan perekonomian kea rah yang lebih maju dan tertip.?
BAB II
PEMBAHASAN

A.   Daya Saing
Daya saing merupakan proses untuk pencapaian sebuah tujuan yang lebih baik kedepan dalam meningkatkan pertumbuhan dan pendapatan sebuah Negara
Daya saing menurut Michael Porter (1990) adalah produktivitas yang didefinisikan sebagai output yang dihasilkan oleh tenaga kerja. Menurut World Economic Forum, daya saing nasional adalah kemampuan perekonomian nasional untuk mencapai pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan berkelanjutan.
Daya saing menurut Pusat Studi dan Pendidikan Kebanksentralan Bank Indonesia (2002) harus mempertimbangkan beberapa hal:
1.       Daya saing mencakup aspek yang lebih luas dari sekadar produktivitas atau efisiensi pada level mikro. Hal ini memungkinkan kita lebih memilih mendefinisikan daya saing sebagai “kemampuan suatu perekonomian” daripada “kemampuan sektor swasta atau perusahaan”
2.      Pelaku ekonomi atau economic agent bukan hanya perusahaan, akan tetapi juga rumah tangga, pemerintah, dan lain-lain. Semuanya berpadu dalam suatu sistem ekonomi yang sinergis. Tanpa memungkiri peran besar sektor swasta perusahaan dalam perekonomian, fokus perhatian akan diperluas, tidak hanya terbatas akan hal itu saja dalam rangka menjaga luasnya cakupan konsep daya saing.
3.      Tujuan dan hasil akhir dari meningkatnya daya saing suatu perekonomian tak lain adalah meningkatnya tingkat kesejahteraan penduduk di dalam perekonomian tersebut. Kesejahteraan atau level of living adalah konsep yang maha luas yang pasti tidak hanya tergambarkan dalam sebuah besaran variabel seperti pertumbuhan ekonomi.
Pertumbuhan ekonomi hanya satu aspek dari pembangunan ekonomi dalam rangka peningkatan standar kehidupan masyarakat.Kata kunci dari konsep daya saing adalah kompetisi. Disinilah peran keterbukaan terhadap kompetisi dengan para kompetitor menjadi relevan. Kata daya saing menjadi kehilangan maknanya pada suatu perekonomian yang tertutup.
Menurut Michael Porter (1990), pada dasarnya ada 4 (empat) faktor yang mempengaruhi daya saing suatu negara, yaitu:
1.      Strategi, Struktur, dan Tingkat Persaingan Perusahaan, yaitu bagaimana unit-unit usaha di dalam suatu negara terbentuk, diorganisasikan, dan dikelola, serta bagaimana tingkat persaingan dalam negerinya.
2.      Sumber Daya di suatu Negara, yaitu bagaimana ketersediaan sumber daya di suatu negara, yakni sumber daya manusia, bahan baku, pengetahuan, modal, dan infrastruktur. Ketersediaan tersebut menjadi penentu perkembangan industri di suatu negara. Ketika terjadi kelangkaan pada salah satu jenis faktor tersebut maka investasi industri di suatu negara menjadi investasi yang mahal.  
3.      Permintaan Domestik, yaitu bagaimana permintaan di dalam negeri terhadap produk atau layanan industri di negara tersebut. Permintaan hasil industri, terutama permintaan dalam negeri, merupakan aspek yang mempengaruhi arah pengembangan faktor awalan keunggulan kompetitif sektor industri. Inovasi dan kemajuan teknologi dapat terinspirasi oleh kebutuhan dan keinginan konsumen.
4.      Keberadaan Industri Terkait dan Pendukung, yaitu keberadaan industri pemasok atau industri pendukung yang mampu bersaing secara internasional. Faktor ini menggambarkan hubungan dan dukungan antar industri, dimana ketika suatu perusahaan memiliki keunggulan kompetitif, maka industri-industri pendukungnya juga akan memiliki keunggulan kompetitif.
Porter mencontohkan Italia sebagai negara yang menerapkan hal tersebut. Italia tidak hanya sukses dalam industri sepatu dan kulit, namun juga telah berhasil mendorong industri pendukungnya seperti desain kulit, serta pengolahan kulit sepatu untuk berkembang sejalan dengan perkembangan industri sepatu dan kulit.
Keempat komponen yang disebut sebagai model Porter’s Diamond tersebut mengkondisikan lingkungan di mana perusahaan-perusahaan berkompetisi dan mempengaruhi keunggulan daya saing suatu bangsa. Analisis tersebut menyatakan bahwa pemerintahan suatu negara memiliki peran penting dalam membentuk ekstensifikasi faktor-faktor yang menentukan tingkat keunggulan kompetitif industri suatu negara. Hal ini diperjelas dengan adanya 2 (dua) variabel tambahan yang mempengaruhi daya saing, yaitu:
1.         Kesempatan, yaitu perkembangan yang berada di luar kendali perusahaan-perusahaan (dan biasanya juga di luar kendali pemerintah suatu bangsa), seperti misalnya penemuan baru, terobosan teknologi dasar, perkembangan politik eksternal, dan perubahan besar dalam permintaan pasar asing.
2.      Pemerintah, yakni pemerintah pada semua tingkatan pemerintahan dapat meningkatkan atau memperlemah keunggulan nasional. Peran pemerintah terutama dalam membentuk kebijakan yang mempengaruhi komponen-komponen dalam Diamond Porter. Misalnya, kebijakan anti-trust mempengaruhi persaingan nasional. Regulasi dapat mengubah faktor permintaan (misalnya regulasi terkait subsidi BBM). Kebijakan pemerintah yang mendukung pendidikan dapat mengubah kondisi faktor produksi. Belanja pemerintah dapat merangsang industri terkait dan pendukung.
Porter menggarisbawahi bahwa ketersediaan faktor-faktor seperti faktor sumber daya manusia, bahan baku, pengetahuan, dan infrastruktur, tidak ditentukan oleh perbedaan karakteristik alamiah suatu negara. Kemampuan suatu negara dalam menyediakan faktor-faktor sebagian besar ditentukan oleh political will dari pemerintah. Oleh karena itu, variabel pemerintah memegang peran penting dalam peningkatan daya saing nasional.

 B.     Potret Daya Saing Indonesia
Kekuatan daya saing merupakan yatanan yang harus dibenah dengan baik oleh bangsa Indonesia, untuk menciptakan indonesia yang adil makmur dan beradap di mata internasional. Dengan kokohnya perekonomian dan pembangunan Indonesia akan meningkatkan kesejahtraan rakyat yang lebih baik.
                                              Tabel B. 1Rangking Daya Saing Indonesia Dalam Negeri    
Negara
2000
2001
2002
2003
2004
2005
2006
USA
Singapura
Malaysia
26 
28 
24 
21 
16 
28 
23
Korea
29 
29 
29 
37 
35 
29 
38
Jepang
21 
23 
27 
25 
23 
21 
17
Cina
24 
26 
28 
29 
24 
31 
19
Thailand
31 
34 
31 
30 
29 
27 
32
Indonesia
43 
46 
47 
57 
58 
59 
60
                                             Sumber: IMD World Competitiveness Yearbook (WCY)
   Dari table B.1 hingga tabel B.3  tersebut menunjukkan bahwa sikap dan aplikasi pemebangunan dan perekonomian Indonesia masih di anggap lemah dalam tatanan global, yang yang seharusnya proses tersebut terus meningkat namun kenyataannya hanya naik-turun, factor inin disebabkan oleh berbagai sektor, antaranya:
1. Nilai Inti Pembangunan
Permasalahan utama dalam pembangunan ekonomi Indonesia adalah kualitas SDM. Rendahnya kualitas SDM menyebabkan rendahnya daya saing global bangsa Indonesia. Daya saing bangsa yang kuat menurut pendapat dari Todaro (1998), apabila nilai inti pembangunan Indonesia dapat dipenuhi: sustenance (kemampuan untuk mencukupi kebutuhan-kebutuhan dasar), freedom (kemerdekaan, kebebasan dari sikap menghambat), self esteem(jati diri) dan tersedianya banyak pilihan.
     Rendahnya Kulaitas SDM ini pada dasarnya sangat mengakar pada keterpukan nilai-nilai pendidikan yang berkulitas. Lemahnya tatanan pendidikan tersebut menyebabkan bangsa Indonesia terus terpuruk dalam kemiskinan dan tertinggal dalam pembangunan seperti yang diharapkan.
2. Kolonialisme dan Inferiorisme
Rendahnya kualitas SDM akibat pembodohan terstruktur sejak berabad-abad lamanya. Tahun 2006 Human Development Index (HDI) Indonesia hanya menduduki rangking 69 dari 104 negara. Penjajahan selama lebih dari 3,5 abad menjadikan bangsa Indonesia inferior dan selalu pasrah pada keadaan, rendah diri dan tidak kreatif. Kalaupun mau berusaha, cukup puas hanya pada tataran pencapaian rata-rata (mediocore achievement). Perkembangan kualitas SDM Indonesia tidak terlepas dari sejarah intervensi pemerintah dalam dunia pendidikan.
 Pada masa kolonialisme, penduduk sengaja dibuat bodoh dengan hanya mengizinkan anak orang-orang yang pro-pemerintah colonial yang dapat bersekolah. Hasilnya mayoritas penduduk Indonesia buta huruf (il-literate) dan bermental rendah (inferior). Pada masa orde lama hingga orde baru pendidikan tidak pernah mendapatkan prioritas dalam program pembangunan nasional.
3. Sumber Daya Alam
Perekonomian Indonesia tidak bisa menggantungkan daya saingnya dari keunggulan komparatif apalagi hanya dengan mengeksploitasi sumber daya alam yang tidak terbarukan. Saat ini stok sumber daya alam tidak terbarukan seperti minyak bumi, gas, maupun batubara Indonesia telah menipis. Demikian juga sumber daya alam yang dapat diperbarui juga telah banyak rusak dan membutuhkan waktu yang amat lama untuk dapat dikembalikan kepada keadaan semula.
Rusak dan gundulnya hutan telah menjadi isu yang cukup memprihatinkan. Bahkan kerusakan alam yang demikian parahnya justru menyebabkan bencana lain muncul, seperti tanah longsor dan banjir, yang menambah terpuruknya daya saing perekonomian Indonesia.
4. Teknologi
Indeks teknologi ini diukur antara lain dari posisi negara bersangkutan dalam penguasaan teknologi dibandingkan negara-negara maju, inovasi bisnis, pengeluaran untuk riset dan pengembangan (R&D), serta kolaborasi dengan perguruan tinggi setempat dalam R&D. Sementara, indeks transfer teknologi diukur dari tingkat alih teknologi oleh investor asing, baik melalui penanaman modal langsung maupun pemberian lisensi untuk teknologi asing.
Dalam hal penguasaan teknologi Indonesia juga masih kalah dibandingkan dengan Negara tetangga, meskipun Indonesia memiliki cadangan sumber daya alam yang cukup untuk membuat industry teknologi sendiri. Hal ini disebabkan karena kualitas SDM Indonesia yang kurang diberdayakan untuk memajukan sector teknologi.
5. Iklim Usaha
Variabel situasi makroekonomi meliputi sejumlah komponen, yakni stabilitas makroekonomi, peringkat utang negara dan belanja pemerintah. Untuk stabilitas makroekonomi, Indonesia peringkat ke-45. Sementara, untuk peringkat utang, Indonesia urutan ke-74, dan belanja pemerintah urutan ke-19. Sementara, MCI yang dikembangkan Michael E Porter mengukur daya saing fundamental secara komparatif, dengan menggunakan indikator-indikator mikroekonomi seperti operasi dan strategi perusahaan, serta kualitas iklim usaha di dalam negeri pada negara bersangkutan.
Kualitas iklim usaha di sini meliputi antara lain kualitas infrastruktur fisik, infrastruktur administratif, sumber daya manusia, infrastruktur teknologi, pasar modal, kondisi permintaan, ada-tidaknya industri terkait dan industri pendukung, ada-tidaknya insentif usaha dan persaingan (struktur pasar). Hingga saat ini iklim usaha di Indonesia belum dapat dikatakan kondusif. Kurangnya kepercayaan pihak asing menyebabkan larinya para investor asing ke luar negeri. Buruknya iklim usaha di Indonesia tercermin dari kompleks dan berbelit-belitnya birokrasi. Sistem perizinan dengan prosedur yang panjang membuat para investor harus mengeluarkan dana ekstra untuk memangkas birokrasi dengan cara-cara yang tidak terpuji seperti suap.
Sarana infrastruktur yang buruk, seperti rusaknya jalan-jalan sangat menghambat aktivitas perekonomian. Hal ini memberikan gambaran buruk bagi para investor bahwa pajak yang mereka bayarkan kepada Negara tidak memberikan imbal balik bagi kelangsungan usaha mereka.
6. Industri Manufaktur
Industri manufaktur boleh jadi merupakan sosok yang paling menggambarkan problematika perekonomian Indonesia dewasa ini. Di era dunia datar (flat world) yang dipicu oleh globalisasi dan liberalisasi, industri manufaktur berada di lini terdepan dalam pertarungan menghadapi persaingan mondial. Hal ini disebabkan industri manufaktur merupakan satu dari tiga sektor tradables. Dua sektor lainnya ialah pertanian serta pertambangan & galian. Sesuai dengan namanya, produk-produk yang dihasilkan sektor tradables diperdagangkan secara bebas, baik di pasar internasional maupun pasar domestik.
Untuk menembus pasar internasional, produk-produk sektor ini harus berhadapan dengan produk-produk serupa dari negara-negara lain; sementara itu untuk memperoleh tempat di pasar domestik, produk-produk ini harus mumpuni menghadang penetrasi barang-barang sejenis yang diimpor. Di antara sektor tradables sendiri, industri manufakturlah yang paling keras menghadapi persaingan. Karena karakteristik alamiahnya, derajat mobilitas produk-produk manufaktur lebih tinggi ketimbang produk-produk pertanian dan pertambangan.
Sekedar perbandingan, sektor-sektor yang tergolong non-tradables, yang terdiri dari sektor jasa (dalam artian luas, meliputi juga konstruksi dan utilitas), praktis tak menghadapi persaingan head to head di pasar domestik. Misalnya: sektor listrik, gas, dan air bersih; komunikasi, pendidikan, rumah sakit, dan jasa angkutan.
Mengingat intensitas perdagangannya sangat tinggi, industri manufaktur menghadapi hampir segala persoalan di hampir semua “medan laga”, baik di lingkungan internal, industri maupun eksternal. Juga terkena imbas langsung dari persoalan-persoalan yang dihadapi di lingkup pasar domestik mapun pasar internasional.
Tingkat efisiensi dan produktivitas yang tinggi di tingkat perusahaan semata tak bisa menjamin keberhasilan seandainya faktor-faktor eksogen tak mendukung, misalnya: kualitas infrastruktur yang buruk, korupsi dan pungutan liar, birokrasi yang bobrok, kerangka institusi yang lemah, kualitas sumber daya manusia yang rendah, serta risiko bisnis dan politik yang tinggi.
C.     Awal Mulanya Jatuh Daya Saing Indonesia Dari Negara-Negara Maju
Indonesia mengalami kemunduran luar biasa dalam melahirkan perusahaan dan industry kelas dunia. Globalisasi yang telah menjadi kemestian adalah arena yang akan menghukum mereka yang tidak siap dan tidak tanggap seperti bangsa kita terhadap fenomina ini. Persoalan peningkatan daya saing ekonomi ini adalah persoalan serius yang mesti diperhatikan dalam mendesain program pemulihan ekonomi kita ke depan.
Daya saing yang buruk menyebabkan sebuah perekonomian sangat rentan terhadap gejolak eksternal dan karenanya mudah sekali didera krisis yang berkepanjangan. Sebaliknya jika daya saing sebuah perekonomian baik, perekonomian akan mampu segera pulih dari krisis bahkan bangkit kembali untuk menjadi perekonomian yang tangguh dan terhormat. Bukti empiris memang menunjukkan bahwa Negara-negara segera bangkit perekonomiannya adaah Negara-negara yang daya saing ekonominya terus membaik, contohnya Malaysia dan Jepang.
Membangun ekonomi bukanlah persoalan sederhana. Ia harus ditunjang industrial base yang tangguh, sayangnya untuk Negara kita yang terjadi bukanlah sebuah proses re-industrialisasi yang lebih terencana dan terfokus untuk menangguhkan fondasi ekonomi dan kemudian berangsur-angsir pulih, tetapi sebuah proses yang kini populer dengan sebutan de-industrialisasi. Hal ini menegaskan bahwa perekonomian Indonesia memang memiliki potensi serius untuk terus berjibaku dalam krisis berkepanjangan yang tak berujung.
D.   Perangkap Lingkaran Ketergantungan
Dari sejumlah kesalahan kebijakan pembangunan yang dibuat Pemerintah RI sejak kemerdekaannya hingga sekarang, yang paling fatal adalah membiarkan bangsa ini bergantung pada teknologi yang dihasilkan oleh bangsa-bangsa lain. Hingga kini, kita benar-benar menjadi bangsa konsumen produk teknologi bangsa-bangsa lain yang lebih maju, bukan inovator atau pencipta teknologi. Ketergantungan yang tinggi terhadap teknologi impor inilah yang menyebabkan sistem ekonomi dan industri Indonesia kurang efisien, kurang produktif, dan tidak kompetitif.
Pada umumnya produk (outputs) sistem industri Indonesia menjadi mahal, karena selain teknologi, komponen produksi (production inputs) lainnya juga sebagian besar diimpor. Contoh yang jelas adalah ketiga industri andalan nasional di masa Orde Baru, yaitu: TPT, elektronik, dan otomotif. Ternyata kandungan impor (import content) ketiga industri ini sekitar 70% sampai 85%. Artinya, selama ini kita hanya menjadi ”tukang jahit” (assembling) saja. Sedikit sekali atau tidak ada proses transfer teknologi. Industri hulu (penunjang) ketiga industri andalan nasional tersebut juga tidak dikembangkan secara komprehensif.
Industri TPT, misalnya, tidak ditunjang oleh sistem perkebunan kapas dan budidaya ulat sutera yang tangguh dan berkelanjutan. Hampir semua mesin-mesin pabrik tekstil di tanah air kini sudah tua atau absolut. Wajar, kalau produk ketiga industri nasional tersebut kini kalah bersaing dengan produk-produk dari Malaysia, RRC, Thailand, dan Vietnam.
Ketergantungan pada teknologi asing juga membuat sistem industri nasional kurang atau tidak mampu meresponse secara cepat terhadap tuntutan pasar (konsumen) yang begitu dinamis. Perlu dicatat, bahwa di era dunia yang semakin datar ini, tuntutan pasar bukan hanya yang berkaitan dengan kualitas, kemasan (packaging), harga, dan kontinuitas suplai barang dan jasa; tetapi juga yang terkait dengan pelestarian lingkungan, hak azasi manusia, dan aspek non-tarif (ideographic) lainnya.
Lebih dari itu, sistem ekonomi Indonesia pun menjadi sangat tergantung pada modal (investasi) asing dan cadangan devisa yang diperoleh melalui ekspor serta hutang luar negeri. Karena, hampir semua investor asing ketika menanamkan modalnya di suatu negara, tak terkecuali Indonesia, selalu mensyaratkan penggunaan teknologi dari negaranya.
Fakta empiris (sejarah) juga membuktikan, bahwa bangsa yang maju dan makmur adalah mereka yang mampu melakukan pembangunan industri secara efisien, produktif, dan berkelanjutan. Industrialisasi (pembangunan industri) baru berhasil, bila bangsa yang bersangkutan melaksanakan institusionalisasi proses-proses inovasi teknologi (AIPI, 2006). Artinya, keberhasilan industrialisasi bisa terwujud di suatu negara-bangsa, bila preskripsi-preskripsi teknologi yang mendasari beroperasinya unit-unit produksi dalam sistem industri nasional nya merupakan hasil atau ada dalam kendali bangsa tersebut.
Jika kita tinjau ulang (flash back) pembangunan industri Indonesia, program institusionalisasi proses inovasi teknologi dapat dikatakan belum pernah berhasil. Yang lebih mencemaskan, upaya sadar, serius dan kontinu dari segenap komponen bangsa (terutama para pemimpin dan elit bangsa) ke arah itu pun belum pernah menjadi agenda nasional. Presiden B.J. Habibie sebenarnya telah mencoba melakukan program ini. Sayangnya, masa kepimimpinannya berlangsung sangat singkat, dan pemerintahan yang dipimpinannya pun sangat dibebani tugas pemulihan krisis multidimensi.
E.     Potret Daya Saing Global
Daya Saing Global menurut Executive Summary WEF adalah kemampuan nilai tukar mata uang suatu Negara (exchange rate) mempengaruhi produktivitas nasional. Daya saing diartikan sebagai akumulasi dari berbagai factor, kebijakan dan kelembagaan yang memepengaruhi produktivitas suatu Negara sehinggan akan emenetukan tercapainya kesejahteraan rakyat dalam system perekonomian nasional.
Produktivitas adalah penentu utama tingkat ROI (return on Investment) dan agregasi pertumbuhan ekonomi. Dengan demikian semakin kompetitif daya saing sebuah system perekonomian maka pembangunan akan tumbuh lebih cepat dalam waktu menengah dan panjang.
Daya saing juga dapat dilihat dari kebijakan makroekonomi. Pada era orde baru, pertumbuhan ekonomi cukup tinggi (7-9%), namun karena terjadi salah kelola (mismanaging) dan salah arah kebijakan (misguiding) public finance dengan diberlakukannya DFI (Direct Foreign Investment) sehingga pada saat krisis akibatnya Negara yang menanggung Utang pihak swasta. Faktor-faktor lain sebagai penentu daya saing global diantaranya: kesempatan berusaha, system peradilan yang fair, pajak yang bermanfaat, birokrasi, inovasi teknologi dan pendidikan, hubungan internasional dan hak cipta. Terjadinya pergantian pemerintahan, kerusakan
Infrastruktur (akibat banyaknya bencana alam, tsunami, gempa bumi, dan banjir) dan hancurnya pasar uang menyebabkan daya saing perekonomian Indonesia terpuruk
  

BAB III
PENUTUP

A.     Kesimpulan
Proses penigkatan perekonomian dan pembangunan nasional merupakan suatu kegiatan yang terus menerus dan menyeluruh dilakukan mulai dari penyusunan suatu rencana, penyususnan pogram, kegiatan pogram, pengawasan sampai pada pogram terselesaikan untukl menunjang daya saing Negara Indonesia dengan Negara-negara maju di belahan dunia.
Dari uraian di atas juga, jelas bahwa upaya untuk membangun daya saing dan kemandirian sains dan teknologi bangsa memerlukan peran aktif semua pihak, baik pemerintah, dunia usaha, akademisi, maupun masyarakat secara umum. Selain peran aktif dimaksud, beberapa masalah dan kendala berikut ini juga mutlak untuk dipecahkan.
Pertama, perlu dihilangkan berbagai problem struktural yang menjadi penghambat upaya untuk mengembangkan sains dan teknologi. Perbaikan struktural dimaksud tidak terbatas pada penyediaan sistem insentif yang berkaitan dengan kebijakan makro ekonomi, melainkan juga pada kebijakan mikro baik yang berkaitan dengan industri, investasi dan perdagangan. Untuk yang disebut terakhir ini, perhatian pada penghilangan berbagai bentuk inefisiensi dan peraturan (atau yang lebih dikenal dengan high cost economy) yang menghambat perkembangan sains dan teknologi domestik harus dihilangkan.
Kedua, meningkatkan terus menerus kualitas SDM yang tidak hanya menyangkut skills dan pendidikan saja, melainkan juga menyangkut penanaman mentalitas bangsa mandiri, kewirausahaan dan etos kerja penuh inovasi dan profesionalisme kepada masyarakat. Dalam kaitan ini termasuk diantaranya melalui pelatihan-pelatihan kerja dengan sentuhan teknologi yang mumpuni, murah, dan terjangkau merupakan langkah penting dalam mendorong terciptanya daya saing dan kemandirian sains dan teknologi nasional.
B.     Kritik & Saran
Pergolakan perekonomian dan pembangunan Indonesia telah menciptakan urgensi-urgensi kehidupan yang mendera perekonomian Indonesia, bahkan berbagai persoalan konflik elit politik terjadi belum bisa terealisasikan sampai saat ini. Persoalan-persoalan ini terjadi tentu berdampak besar pada proses peningkatan daya saing perekonomian dan pembangunan kearah yang lebih baik, namun pada penulisan ini perlu disampaikan bahwa taraf perekonomian Indonesia masih jauh dari yang kita harapkan, warisan hutang luar negeri masih harus dibayar.
Dalam Hal meningkatkan daya saing perekonomian dan pembangunan Indonesia hal utama yang harus dilakukan dalam membangun daya saing dan kemandirian bangsa berbasis sains dan teknologi. Namun apapun yang dilakukan, gagasan upaya maupun langkah-langkah yang diuraikan di atas mutlak diperlukan agar masyarakat secara keseluruhan dapat membangun daya saing dan kemandirian bangsa berbasis sains dan teknologi bagi kesejahteraan hidupnya. Jika tidak, sangat sulit rasanya bangsa ini keluar dari ketergantungan penggunaan sains dan teknologi asing yang berimplikasi kepada kemelaratan perekonomian nasional yang permanen
Mungkin dalam hal ini, kita sebagai penerus bangsa harus mampu dan terus bersaing dalam mewujudkan Indonesia bebas dari kemiskinan, harga diri bangsa Indonesia adalah mencintai dan menjaga aset Negara untuk dijadikan simpanan buat anak cucu kelak. Dalam proses peningkatan perekonomian dan pembangunan bangsa ini harus bisa menyatukan pendapat demi kesejahteraan masyarakat umumnya.

  
REFERENSI
  
8.      Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia. 2006. Prakarsa Teknologi Untuk Mewujudkan Kemandirian Bangsa. Komisi Ilmu Rekayasa. Jakarta.
9.      Kynge, J. 2006. China Shakes the World: The Rise of a Hungry Nation. Weidenfeld & Nicolson, London..
10.  Pohan, Aulia. 2008. Potret Kebijakan Moneter Indonesia.Jakarta:Rajawali pers.
11.  Yustika, Ahmad Erani. 2002. Pembangunan dan Krisis, Memetakan Perekonomian Indonesia. Jakarta : PT. Grasindo.



- Copyright © Amal yang Dilakukan dengan Ikhlas yang Mampu Membawa Manusia ke Dalam Surga - Skyblue - Powered by Blogger - Designed by Johanes Djogan -