- Back to Home »
- KEMANDIRIAN NEGARA DALAM MENGELOLA EKONOMI
Posted by : dwinyoman@blog.com
Rabu, 30 Desember 2015
RENDAHNYA DAYA SAING NEGARA INDONESIA
TERHADAP NEGARA-NEGARA MAJU
RENDAHNYA DAYA
SAING NEGARA INDONESIA TERHADAP NEGARA-NEGARA MAJU
Oleh: Afrizal
Woyla Saputra Zaini
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Peringkat daya
saing yang semakin menurun mengindikasikan bahwa daya saing Indonesia di
perdagangan internasional semakin menurun. Kekayaaan alam yang melimpah
sepertinya kurang berperan dalam peningkatan daya saing Indonesia.
Hal ini
mengindikasikan adanya hambatan yang menyebabkan daya saing Indonesia menurun.
Peran pemerintah dalam mengupayakan peningkatan daya saing seharusnya dapat
meningkatkan daya saing produk Indonesia di perdagangan internasiona
Daya saing
menurut Michael Porter (1990) adalah produktivitas yang didefinisikan sebagai
output yang dihasilkan oleh tenaga kerja. Menurut World Economic Forum, daya
saing nasional adalah kemampuan perekonomian nasional untuk mencapai
pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan berkelanjutan.
Menurut Lall
(1998), ada lima faktor determinan sebagai penyebab rendahnya pembangunan sains
dan teknologi nasional, yakni (1) sistem insentif, (2) kualitas SDM, (3)
informasi teknologi dan pelayanan pendukung, (4) dana, dan (5) kebijakan sains
dan teknologi sendiri.
Dalam hal
sistem insentif, misalnya, kebijakan makro ekonomi nasional masih kurang
kondusif dalam mendorong pengembangan kemandirian sains dan teknologi. Demikian
pula dengan kualitas SDM, keterbatasan dana dan manajemen.
B. Tujuan
Masalah
Tujuan dari
penulisan ini agar dapat memahami suasana dan arah daya saing Negara Indonesia
terhadap Negara-negara maju. Dengan adanya mekanisme yang baik dan tepat pada
sasaran paling tidak dapat meningkatkan peran perekonomian dan pembangunan
indoneisia di mata internasional.
Tujuan lain
dari penulisan ini juga agar dapat menambah wawasan masyarakat dalam mewujudkan
kehidupan yang adil, makmur dan beradap atas dasar Undang-Undang Dasar 1945
dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang merdeka, berdaulat, tertib,
bersahabat, bersatu, aman, damai dan sejahtera.
C. Rumusan
Masalah
1. Bagaimana proses perekonomian dan pembangunan nasional .?
2. Apa saja yang menjadi kendala perekonomian dan
pembangunan Indonesia selama ini, sehingga menjadi masalah yang belum
terselesaikan.?
3. Bagaimana proses perekonomian dan pembangunan dalam
meningkatkan daya sain indoneisia terhadap Negara Negara maju.?
4. Kenapa Indonesia masih belum mampu menarik diri dari
ketergantungan dengan negera Negara maju
5. Seperti apa proses proses peningkatan dan rehablitasi
daya saing Indonesia dengan Negara Negara maju.?
6. Bagaimana sistem pemerintahan dalam melakukan pembangunan
dan peningkatan perekonomian kea rah yang lebih maju dan tertip.?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Daya
Saing
Daya saing
merupakan proses untuk pencapaian sebuah tujuan yang lebih baik kedepan dalam
meningkatkan pertumbuhan dan pendapatan sebuah Negara
Daya saing
menurut Michael Porter (1990) adalah produktivitas yang didefinisikan sebagai
output yang dihasilkan oleh tenaga kerja. Menurut World Economic Forum, daya
saing nasional adalah kemampuan perekonomian nasional untuk mencapai
pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan berkelanjutan.
Daya saing
menurut Pusat Studi dan Pendidikan Kebanksentralan Bank Indonesia (2002) harus
mempertimbangkan beberapa hal:
1. Daya saing mencakup aspek yang lebih luas dari
sekadar produktivitas atau efisiensi pada level mikro. Hal ini memungkinkan
kita lebih memilih mendefinisikan daya saing sebagai “kemampuan suatu
perekonomian” daripada “kemampuan sektor swasta atau perusahaan”
2. Pelaku ekonomi atau economic agent bukan hanya
perusahaan, akan tetapi juga rumah tangga, pemerintah, dan lain-lain. Semuanya
berpadu dalam suatu sistem ekonomi yang sinergis. Tanpa memungkiri peran besar sektor
swasta perusahaan dalam perekonomian, fokus perhatian akan diperluas, tidak
hanya terbatas akan hal itu saja dalam rangka menjaga luasnya cakupan konsep
daya saing.
3. Tujuan dan hasil akhir dari meningkatnya daya saing suatu
perekonomian tak lain adalah meningkatnya tingkat kesejahteraan penduduk di
dalam perekonomian tersebut. Kesejahteraan atau level of living adalah
konsep yang maha luas yang pasti tidak hanya tergambarkan dalam sebuah besaran
variabel seperti pertumbuhan ekonomi.
Pertumbuhan ekonomi
hanya satu aspek dari pembangunan ekonomi dalam rangka peningkatan standar
kehidupan masyarakat.Kata kunci dari konsep daya saing adalah
kompetisi. Disinilah peran keterbukaan terhadap kompetisi dengan para
kompetitor menjadi relevan. Kata daya saing menjadi kehilangan maknanya pada
suatu perekonomian yang tertutup.
Menurut
Michael Porter (1990), pada dasarnya ada 4 (empat) faktor yang mempengaruhi
daya saing suatu negara, yaitu:
1. Strategi, Struktur, dan Tingkat Persaingan Perusahaan,
yaitu bagaimana unit-unit usaha di dalam suatu negara terbentuk,
diorganisasikan, dan dikelola, serta bagaimana tingkat persaingan dalam
negerinya.
2. Sumber Daya di suatu Negara, yaitu bagaimana ketersediaan
sumber daya di suatu negara, yakni sumber daya manusia, bahan baku,
pengetahuan, modal, dan infrastruktur. Ketersediaan tersebut menjadi penentu
perkembangan industri di suatu negara. Ketika terjadi kelangkaan pada salah
satu jenis faktor tersebut maka investasi industri di suatu negara menjadi
investasi yang mahal.
3. Permintaan Domestik, yaitu bagaimana permintaan di dalam
negeri terhadap produk atau layanan industri di negara tersebut. Permintaan
hasil industri, terutama permintaan dalam negeri, merupakan aspek yang
mempengaruhi arah pengembangan faktor awalan keunggulan kompetitif sektor
industri. Inovasi dan kemajuan teknologi dapat terinspirasi oleh kebutuhan dan
keinginan konsumen.
4. Keberadaan Industri Terkait dan Pendukung, yaitu
keberadaan industri pemasok atau industri pendukung yang mampu bersaing secara
internasional. Faktor ini menggambarkan hubungan dan dukungan antar industri,
dimana ketika suatu perusahaan memiliki keunggulan kompetitif, maka
industri-industri pendukungnya juga akan memiliki keunggulan kompetitif.
Porter
mencontohkan Italia sebagai negara yang menerapkan hal tersebut. Italia tidak
hanya sukses dalam industri sepatu dan kulit, namun juga telah berhasil
mendorong industri pendukungnya seperti desain kulit, serta pengolahan kulit
sepatu untuk berkembang sejalan dengan perkembangan industri sepatu dan kulit.
Keempat
komponen yang disebut sebagai model Porter’s Diamond tersebut mengkondisikan
lingkungan di mana perusahaan-perusahaan berkompetisi dan mempengaruhi
keunggulan daya saing suatu bangsa. Analisis tersebut menyatakan bahwa
pemerintahan suatu negara memiliki peran penting dalam membentuk ekstensifikasi
faktor-faktor yang menentukan tingkat keunggulan kompetitif industri suatu
negara. Hal ini diperjelas dengan adanya 2 (dua) variabel tambahan yang
mempengaruhi daya saing, yaitu:
1. Kesempatan, yaitu perkembangan yang berada
di luar kendali perusahaan-perusahaan (dan biasanya juga di luar kendali
pemerintah suatu bangsa), seperti misalnya penemuan baru, terobosan teknologi
dasar, perkembangan politik eksternal, dan perubahan besar dalam permintaan
pasar asing.
2. Pemerintah, yakni pemerintah pada semua tingkatan
pemerintahan dapat meningkatkan atau memperlemah keunggulan nasional. Peran
pemerintah terutama dalam membentuk kebijakan yang mempengaruhi
komponen-komponen dalam Diamond Porter. Misalnya, kebijakan anti-trust
mempengaruhi persaingan nasional. Regulasi dapat mengubah faktor permintaan
(misalnya regulasi terkait subsidi BBM). Kebijakan pemerintah yang mendukung
pendidikan dapat mengubah kondisi faktor produksi. Belanja pemerintah dapat
merangsang industri terkait dan pendukung.
Porter
menggarisbawahi bahwa ketersediaan faktor-faktor seperti faktor sumber daya
manusia, bahan baku, pengetahuan, dan infrastruktur, tidak ditentukan oleh
perbedaan karakteristik alamiah suatu negara. Kemampuan suatu negara dalam
menyediakan faktor-faktor sebagian besar ditentukan oleh political will dari
pemerintah. Oleh karena itu, variabel pemerintah memegang peran penting dalam
peningkatan daya saing nasional.
B. Potret
Daya Saing Indonesia
Kekuatan daya
saing merupakan yatanan yang harus dibenah dengan baik oleh bangsa Indonesia,
untuk menciptakan indonesia yang adil makmur dan beradap di mata internasional.
Dengan kokohnya perekonomian dan pembangunan Indonesia akan meningkatkan
kesejahtraan rakyat yang lebih baik.
Tabel B. 1Rangking Daya Saing Indonesia Dalam Negeri
Negara
|
2000
|
2001
|
2002
|
2003
|
2004
|
2005
|
2006
|
USA
|
1
|
1
|
1
|
1
|
1
|
1
|
1
|
Singapura
|
2
|
3
|
8
|
4
|
2
|
3
|
3
|
Malaysia
|
26
|
28
|
24
|
21
|
16
|
28
|
23
|
Korea
|
29
|
29
|
29
|
37
|
35
|
29
|
38
|
Jepang
|
21
|
23
|
27
|
25
|
23
|
21
|
17
|
Cina
|
24
|
26
|
28
|
29
|
24
|
31
|
19
|
Thailand
|
31
|
34
|
31
|
30
|
29
|
27
|
32
|
Indonesia
|
43
|
46
|
47
|
57
|
58
|
59
|
60
|
Sumber:
IMD World Competitiveness Yearbook (WCY)
Dari
table B.1 hingga tabel B.3 tersebut menunjukkan bahwa sikap dan aplikasi
pemebangunan dan perekonomian Indonesia masih di anggap lemah dalam tatanan
global, yang yang seharusnya proses tersebut terus meningkat namun kenyataannya
hanya naik-turun, factor inin disebabkan oleh berbagai sektor, antaranya:
1. Nilai Inti
Pembangunan
Permasalahan
utama dalam pembangunan ekonomi Indonesia adalah kualitas SDM. Rendahnya
kualitas SDM menyebabkan rendahnya daya saing global bangsa Indonesia. Daya
saing bangsa yang kuat menurut pendapat dari Todaro (1998),
apabila nilai inti pembangunan Indonesia dapat dipenuhi: sustenance (kemampuan
untuk mencukupi kebutuhan-kebutuhan dasar), freedom (kemerdekaan,
kebebasan dari sikap menghambat), self esteem(jati diri) dan
tersedianya banyak pilihan.
Rendahnya Kulaitas SDM ini pada dasarnya sangat mengakar pada keterpukan
nilai-nilai pendidikan yang berkulitas. Lemahnya tatanan pendidikan tersebut
menyebabkan bangsa Indonesia terus terpuruk dalam kemiskinan dan tertinggal
dalam pembangunan seperti yang diharapkan.
2.
Kolonialisme dan Inferiorisme
Rendahnya
kualitas SDM akibat pembodohan terstruktur sejak berabad-abad lamanya. Tahun
2006 Human Development Index (HDI) Indonesia hanya menduduki rangking 69 dari
104 negara. Penjajahan selama lebih dari 3,5 abad menjadikan bangsa Indonesia
inferior dan selalu pasrah pada keadaan, rendah diri dan tidak kreatif.
Kalaupun mau berusaha, cukup puas hanya pada tataran pencapaian rata-rata (mediocore
achievement). Perkembangan kualitas SDM Indonesia tidak terlepas dari
sejarah intervensi pemerintah dalam dunia pendidikan.
Pada
masa kolonialisme, penduduk sengaja dibuat bodoh dengan hanya mengizinkan anak
orang-orang yang pro-pemerintah colonial yang dapat bersekolah. Hasilnya
mayoritas penduduk Indonesia buta huruf (il-literate) dan bermental rendah
(inferior). Pada masa orde lama hingga orde baru pendidikan tidak pernah
mendapatkan prioritas dalam program pembangunan nasional.
3. Sumber Daya
Alam
Perekonomian
Indonesia tidak bisa menggantungkan daya saingnya dari keunggulan komparatif
apalagi hanya dengan mengeksploitasi sumber daya alam yang tidak terbarukan.
Saat ini stok sumber daya alam tidak terbarukan seperti minyak bumi, gas,
maupun batubara Indonesia telah menipis. Demikian juga sumber daya alam yang
dapat diperbarui juga telah banyak rusak dan membutuhkan waktu yang amat lama
untuk dapat dikembalikan kepada keadaan semula.
Rusak dan
gundulnya hutan telah menjadi isu yang cukup memprihatinkan. Bahkan kerusakan
alam yang demikian parahnya justru menyebabkan bencana lain muncul, seperti
tanah longsor dan banjir, yang menambah terpuruknya daya saing perekonomian
Indonesia.
4. Teknologi
Indeks
teknologi ini diukur antara lain dari posisi negara bersangkutan dalam penguasaan
teknologi dibandingkan negara-negara maju, inovasi bisnis, pengeluaran untuk
riset dan pengembangan (R&D), serta kolaborasi dengan perguruan tinggi
setempat dalam R&D. Sementara, indeks transfer teknologi diukur dari
tingkat alih teknologi oleh investor asing, baik melalui penanaman modal
langsung maupun pemberian lisensi untuk teknologi asing.
Dalam hal
penguasaan teknologi Indonesia juga masih kalah dibandingkan dengan Negara
tetangga, meskipun Indonesia memiliki cadangan sumber daya alam yang cukup untuk
membuat industry teknologi sendiri. Hal ini disebabkan karena kualitas SDM
Indonesia yang kurang diberdayakan untuk memajukan sector teknologi.
5. Iklim Usaha
Variabel
situasi makroekonomi meliputi sejumlah komponen, yakni stabilitas makroekonomi,
peringkat utang negara dan belanja pemerintah. Untuk stabilitas makroekonomi,
Indonesia peringkat ke-45. Sementara, untuk peringkat utang, Indonesia urutan
ke-74, dan belanja pemerintah urutan ke-19. Sementara, MCI yang dikembangkan
Michael E Porter mengukur daya saing fundamental secara komparatif, dengan
menggunakan indikator-indikator mikroekonomi seperti operasi dan strategi
perusahaan, serta kualitas iklim usaha di dalam negeri pada negara
bersangkutan.
Kualitas iklim
usaha di sini meliputi antara lain kualitas infrastruktur fisik, infrastruktur
administratif, sumber daya manusia, infrastruktur teknologi, pasar modal,
kondisi permintaan, ada-tidaknya industri terkait dan industri pendukung,
ada-tidaknya insentif usaha dan persaingan (struktur pasar). Hingga saat ini
iklim usaha di Indonesia belum dapat dikatakan kondusif. Kurangnya kepercayaan
pihak asing menyebabkan larinya para investor asing ke luar negeri. Buruknya
iklim usaha di Indonesia tercermin dari kompleks dan berbelit-belitnya
birokrasi. Sistem perizinan dengan prosedur yang panjang membuat para investor
harus mengeluarkan dana ekstra untuk memangkas birokrasi dengan cara-cara yang
tidak terpuji seperti suap.
Sarana
infrastruktur yang buruk, seperti rusaknya jalan-jalan sangat menghambat
aktivitas perekonomian. Hal ini memberikan gambaran buruk bagi para investor
bahwa pajak yang mereka bayarkan kepada Negara tidak memberikan imbal balik
bagi kelangsungan usaha mereka.
6. Industri
Manufaktur
Industri
manufaktur boleh jadi merupakan sosok yang paling menggambarkan problematika
perekonomian Indonesia dewasa ini. Di era dunia datar (flat world) yang
dipicu oleh globalisasi dan liberalisasi, industri manufaktur berada di lini
terdepan dalam pertarungan menghadapi persaingan mondial. Hal ini disebabkan
industri manufaktur merupakan satu dari tiga sektor tradables. Dua sektor
lainnya ialah pertanian serta pertambangan & galian. Sesuai dengan namanya,
produk-produk yang dihasilkan sektor tradables diperdagangkan secara bebas,
baik di pasar internasional maupun pasar domestik.
Untuk menembus
pasar internasional, produk-produk sektor ini harus berhadapan dengan
produk-produk serupa dari negara-negara lain; sementara itu untuk memperoleh
tempat di pasar domestik, produk-produk ini harus mumpuni menghadang penetrasi
barang-barang sejenis yang diimpor. Di antara sektor tradables sendiri,
industri manufakturlah yang paling keras menghadapi persaingan. Karena
karakteristik alamiahnya, derajat mobilitas produk-produk manufaktur lebih
tinggi ketimbang produk-produk pertanian dan pertambangan.
Sekedar
perbandingan, sektor-sektor yang tergolong non-tradables, yang terdiri dari
sektor jasa (dalam artian luas, meliputi juga konstruksi dan utilitas), praktis
tak menghadapi persaingan head to head di pasar domestik. Misalnya: sektor
listrik, gas, dan air bersih; komunikasi, pendidikan, rumah sakit, dan jasa
angkutan.
Mengingat
intensitas perdagangannya sangat tinggi, industri manufaktur menghadapi hampir
segala persoalan di hampir semua “medan laga”, baik di lingkungan internal,
industri maupun eksternal. Juga terkena imbas langsung dari persoalan-persoalan
yang dihadapi di lingkup pasar domestik mapun pasar internasional.
Tingkat
efisiensi dan produktivitas yang tinggi di tingkat perusahaan semata tak bisa
menjamin keberhasilan seandainya faktor-faktor eksogen tak mendukung, misalnya:
kualitas infrastruktur yang buruk, korupsi dan pungutan liar, birokrasi yang
bobrok, kerangka institusi yang lemah, kualitas sumber daya manusia yang
rendah, serta risiko bisnis dan politik yang tinggi.
C. Awal
Mulanya Jatuh Daya Saing Indonesia Dari Negara-Negara Maju
Indonesia
mengalami kemunduran luar biasa dalam melahirkan perusahaan dan industry kelas
dunia. Globalisasi yang telah menjadi kemestian adalah arena yang akan
menghukum mereka yang tidak siap dan tidak tanggap seperti bangsa kita terhadap
fenomina ini. Persoalan peningkatan daya saing ekonomi ini adalah persoalan
serius yang mesti diperhatikan dalam mendesain program pemulihan ekonomi kita
ke depan.
Daya saing yang
buruk menyebabkan sebuah perekonomian sangat rentan terhadap gejolak eksternal
dan karenanya mudah sekali didera krisis yang berkepanjangan. Sebaliknya jika
daya saing sebuah perekonomian baik, perekonomian akan mampu segera pulih dari
krisis bahkan bangkit kembali untuk menjadi perekonomian yang tangguh dan
terhormat. Bukti empiris memang menunjukkan bahwa Negara-negara segera bangkit
perekonomiannya adaah Negara-negara yang daya saing ekonominya terus membaik,
contohnya Malaysia dan Jepang.
Membangun
ekonomi bukanlah persoalan sederhana. Ia harus ditunjang industrial base yang
tangguh, sayangnya untuk Negara kita yang terjadi bukanlah sebuah proses
re-industrialisasi yang lebih terencana dan terfokus untuk menangguhkan fondasi
ekonomi dan kemudian berangsur-angsir pulih, tetapi sebuah proses yang kini
populer dengan sebutan de-industrialisasi. Hal ini menegaskan bahwa
perekonomian Indonesia memang memiliki potensi serius untuk terus berjibaku
dalam krisis berkepanjangan yang tak berujung.
D. Perangkap
Lingkaran Ketergantungan
Dari sejumlah
kesalahan kebijakan pembangunan yang dibuat Pemerintah RI sejak kemerdekaannya
hingga sekarang, yang paling fatal adalah membiarkan bangsa ini bergantung pada
teknologi yang dihasilkan oleh bangsa-bangsa lain. Hingga kini, kita
benar-benar menjadi bangsa konsumen produk teknologi bangsa-bangsa lain yang
lebih maju, bukan inovator atau pencipta teknologi. Ketergantungan yang tinggi
terhadap teknologi impor inilah yang menyebabkan sistem ekonomi dan industri
Indonesia kurang efisien, kurang produktif, dan tidak kompetitif.
Pada umumnya
produk (outputs) sistem industri Indonesia menjadi mahal, karena selain
teknologi, komponen produksi (production inputs) lainnya juga sebagian
besar diimpor. Contoh yang jelas adalah ketiga industri andalan nasional di
masa Orde Baru, yaitu: TPT, elektronik, dan otomotif. Ternyata kandungan impor
(import content) ketiga industri ini sekitar 70% sampai 85%. Artinya,
selama ini kita hanya menjadi ”tukang jahit” (assembling) saja. Sedikit sekali
atau tidak ada proses transfer teknologi. Industri hulu (penunjang) ketiga
industri andalan nasional tersebut juga tidak dikembangkan secara komprehensif.
Industri TPT,
misalnya, tidak ditunjang oleh sistem perkebunan kapas dan budidaya ulat sutera
yang tangguh dan berkelanjutan. Hampir semua mesin-mesin pabrik tekstil di
tanah air kini sudah tua atau absolut. Wajar, kalau produk ketiga industri
nasional tersebut kini kalah bersaing dengan produk-produk dari Malaysia, RRC,
Thailand, dan Vietnam.
Ketergantungan
pada teknologi asing juga membuat sistem industri nasional kurang atau tidak
mampu meresponse secara cepat terhadap tuntutan pasar (konsumen) yang begitu
dinamis. Perlu dicatat, bahwa di era dunia yang semakin datar ini, tuntutan
pasar bukan hanya yang berkaitan dengan kualitas, kemasan (packaging),
harga, dan kontinuitas suplai barang dan jasa; tetapi juga yang terkait dengan
pelestarian lingkungan, hak azasi manusia, dan aspek non-tarif (ideographic)
lainnya.
Lebih dari
itu, sistem ekonomi Indonesia pun menjadi sangat tergantung pada modal
(investasi) asing dan cadangan devisa yang diperoleh melalui ekspor serta
hutang luar negeri. Karena, hampir semua investor asing ketika menanamkan
modalnya di suatu negara, tak terkecuali Indonesia, selalu mensyaratkan
penggunaan teknologi dari negaranya.
Fakta empiris
(sejarah) juga membuktikan, bahwa bangsa yang maju dan makmur adalah mereka
yang mampu melakukan pembangunan industri secara efisien, produktif, dan
berkelanjutan. Industrialisasi (pembangunan industri) baru berhasil, bila
bangsa yang bersangkutan melaksanakan institusionalisasi proses-proses inovasi
teknologi (AIPI, 2006). Artinya, keberhasilan industrialisasi bisa terwujud di
suatu negara-bangsa, bila preskripsi-preskripsi teknologi yang mendasari
beroperasinya unit-unit produksi dalam sistem industri nasional nya merupakan
hasil atau ada dalam kendali bangsa tersebut.
Jika kita
tinjau ulang (flash back) pembangunan industri Indonesia, program
institusionalisasi proses inovasi teknologi dapat dikatakan belum pernah
berhasil. Yang lebih mencemaskan, upaya sadar, serius dan kontinu dari segenap
komponen bangsa (terutama para pemimpin dan elit bangsa) ke arah itu pun belum
pernah menjadi agenda nasional. Presiden B.J. Habibie sebenarnya telah mencoba
melakukan program ini. Sayangnya, masa kepimimpinannya berlangsung sangat
singkat, dan pemerintahan yang dipimpinannya pun sangat dibebani tugas
pemulihan krisis multidimensi.
E. Potret
Daya Saing Global
Daya Saing
Global menurut Executive Summary WEF adalah kemampuan nilai
tukar mata uang suatu Negara (exchange rate) mempengaruhi produktivitas
nasional. Daya saing diartikan sebagai akumulasi dari berbagai factor,
kebijakan dan kelembagaan yang memepengaruhi produktivitas suatu Negara
sehinggan akan emenetukan tercapainya kesejahteraan rakyat dalam system
perekonomian nasional.
Produktivitas
adalah penentu utama tingkat ROI (return on Investment) dan agregasi
pertumbuhan ekonomi. Dengan demikian semakin kompetitif daya saing sebuah
system perekonomian maka pembangunan akan tumbuh lebih cepat dalam waktu
menengah dan panjang.
Daya saing
juga dapat dilihat dari kebijakan makroekonomi. Pada era orde baru, pertumbuhan
ekonomi cukup tinggi (7-9%), namun karena terjadi salah kelola (mismanaging)
dan salah arah kebijakan (misguiding) public finance dengan
diberlakukannya DFI (Direct Foreign Investment) sehingga pada saat
krisis akibatnya Negara yang menanggung Utang pihak swasta. Faktor-faktor lain
sebagai penentu daya saing global diantaranya: kesempatan berusaha, system
peradilan yang fair, pajak yang bermanfaat, birokrasi, inovasi teknologi dan
pendidikan, hubungan internasional dan hak cipta. Terjadinya pergantian
pemerintahan, kerusakan
Infrastruktur
(akibat banyaknya bencana alam, tsunami, gempa bumi, dan banjir) dan hancurnya
pasar uang menyebabkan daya saing perekonomian Indonesia terpuruk
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Proses
penigkatan perekonomian dan pembangunan nasional merupakan suatu kegiatan yang
terus menerus dan menyeluruh dilakukan mulai dari penyusunan suatu rencana,
penyususnan pogram, kegiatan pogram, pengawasan sampai pada pogram
terselesaikan untukl menunjang daya saing Negara Indonesia dengan Negara-negara
maju di belahan dunia.
Dari uraian di
atas juga, jelas bahwa upaya untuk membangun daya saing dan kemandirian sains
dan teknologi bangsa memerlukan peran aktif semua pihak, baik pemerintah, dunia
usaha, akademisi, maupun masyarakat secara umum. Selain peran aktif dimaksud,
beberapa masalah dan kendala berikut ini juga mutlak untuk dipecahkan.
Pertama, perlu
dihilangkan berbagai problem struktural yang menjadi penghambat upaya untuk
mengembangkan sains dan teknologi. Perbaikan struktural dimaksud tidak terbatas
pada penyediaan sistem insentif yang berkaitan dengan kebijakan makro ekonomi,
melainkan juga pada kebijakan mikro baik yang berkaitan dengan industri,
investasi dan perdagangan. Untuk yang disebut terakhir ini, perhatian pada
penghilangan berbagai bentuk inefisiensi dan peraturan (atau yang lebih dikenal
dengan high cost economy) yang menghambat perkembangan sains dan teknologi
domestik harus dihilangkan.
Kedua,
meningkatkan terus menerus kualitas SDM yang tidak hanya menyangkut skills dan
pendidikan saja, melainkan juga menyangkut penanaman mentalitas bangsa mandiri,
kewirausahaan dan etos kerja penuh inovasi dan profesionalisme kepada
masyarakat. Dalam kaitan ini termasuk diantaranya melalui pelatihan-pelatihan
kerja dengan sentuhan teknologi yang mumpuni, murah, dan terjangkau merupakan
langkah penting dalam mendorong terciptanya daya saing dan kemandirian sains
dan teknologi nasional.
B. Kritik
& Saran
Pergolakan
perekonomian dan pembangunan Indonesia telah menciptakan urgensi-urgensi
kehidupan yang mendera perekonomian Indonesia, bahkan berbagai persoalan
konflik elit politik terjadi belum bisa terealisasikan sampai saat ini.
Persoalan-persoalan ini terjadi tentu berdampak besar pada proses peningkatan
daya saing perekonomian dan pembangunan kearah yang lebih baik, namun pada
penulisan ini perlu disampaikan bahwa taraf perekonomian Indonesia masih jauh
dari yang kita harapkan, warisan hutang luar negeri masih harus dibayar.
Dalam Hal
meningkatkan daya saing perekonomian dan pembangunan Indonesia hal utama yang
harus dilakukan dalam membangun daya saing dan kemandirian bangsa berbasis
sains dan teknologi. Namun apapun yang dilakukan, gagasan upaya maupun
langkah-langkah yang diuraikan di atas mutlak diperlukan agar masyarakat secara
keseluruhan dapat membangun daya saing dan kemandirian bangsa berbasis sains
dan teknologi bagi kesejahteraan hidupnya. Jika tidak, sangat sulit rasanya
bangsa ini keluar dari ketergantungan penggunaan sains dan teknologi asing yang
berimplikasi kepada kemelaratan perekonomian nasional yang permanen
Mungkin dalam
hal ini, kita sebagai penerus bangsa harus mampu dan terus bersaing dalam
mewujudkan Indonesia bebas dari kemiskinan, harga diri bangsa Indonesia adalah
mencintai dan menjaga aset Negara untuk dijadikan simpanan buat anak cucu
kelak. Dalam proses peningkatan perekonomian dan pembangunan bangsa ini harus
bisa menyatukan pendapat demi kesejahteraan masyarakat umumnya.
REFERENSI
8. Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia. 2006. Prakarsa
Teknologi Untuk Mewujudkan Kemandirian Bangsa. Komisi Ilmu Rekayasa.
Jakarta.
9. Kynge, J. 2006. China Shakes the World: The Rise
of a Hungry Nation. Weidenfeld & Nicolson, London..
10. Pohan, Aulia. 2008. Potret Kebijakan Moneter
Indonesia.Jakarta:Rajawali pers.
11. Yustika, Ahmad Erani. 2002. Pembangunan dan
Krisis, Memetakan Perekonomian Indonesia. Jakarta : PT. Grasindo.